Sabtu, 21 September 2019

Resensi - Makna Tersirat di Atas Kanvas


Makna Tersirat di Atas Kanvas
Judul Lukisan   : Potret Diri dan Topeng-topeng Kehidupan
 Pelukis                        : Affandi Koesoema
 Tahun Terbit  : 1961
 Media             : Cat minyak dan kanvas

Lukisan adalah karya seni yang proses pembuatannya dilakukan dengan memulaskan cat dengan kuas lukis, pisau palet atau peralatan lain, yaitu memulaskan warna dan nuansa gradasi pada media seperti permukaan kertas, kanvas atau dinding. Lukisan di atas merupakan karya Affandi yang berjudul "Potret Diri dan Topeng-topeng Kehidupan" yang dibuat pada tahun 1961 dengan media cat minyak dan kanvas. Seniman yang bernama lengkap Affandi Koesoma ini merupakan maestro seni lukis di Indonesia yang lahir pada tahun 1907 di Cirebon. Ayahnya, R. Koesoma bekerja sebagai mantri ukur pabrik gula memberikan peruntungan sendiri bagi Affandi untuk mengenyam berbagai tingkat bangku pendidikan (dalam sistem Kolonial Belanda) mulai dari Hollandsch-Inlandsche School (HIS), Meer Uitgebreid Lager Onderwijs (MULO) dan Algemeene Middelbare School (AMS).  Salah satu pelukis ternama di Indonesia ini juga merupakan pelukis idola para pecinta seni lukis di Indonesia maupun manca negara dengan aliran ekspresionisme.
Karya Lukisan sang Maestro Afandi yang berjudul "Potret Diri & Topeng-topeng Kehidupan" merupakan salah satu karya langka dan istimewa dari Affandi diantara karya-karya istimewa lainya, namun lukisan ini memiliki nilai falsafah hidup yang dalam, di mana setiap individu manusia yang ada di dunia ini terlahir sebagai makhluk yang paling sempurna diantara makhluk-makhluk ciptaan Tuhan yang lainya seperti malaikat, jin, hewan, dll. Kesempurnaan manusia itu sendiri terwujud karena adanya kelemahan terbesar yang dimiliki manusia yaitu hawa nafsu yang cenderung berbuat untuk mengingkari kodrat sebagai makhluk yang sempurna, dan seringkali hawa nafsu digoda oleh berbagai bisikan-bisikan setan yang menyesatkan.
Di sini perwujudan dari bisikan-bisikan setan itu dilukiskan Affandi seperti sosok topeng-topeng yang berperan sebagai tokoh kejahatan dalam cerita-cerita Jawa. Pada sisi kiri terdapat lukisan wajah atau topeng berwarna merah darah dengan rambut-rambut gimbal tak beraturan berwarna hitam. Wajah tersebut digambarkan juga dengan gading, lidah yang menjulur keluar serta mata hitam bundar dengan kelopaknya yang berwarna kuning melotot lebar. Kemudian di atas terdapat sosok wajah yang digambarkan tidak terlalu sempurna dengan mata hitam bundar, alis yang terangkat tinggi, lubang hidung yang lebar dan bibir merah yang tebal. Rambutnya digambar secara abstrak dan melingkupi backgroud di belakangnya. Adapun pada sisi kanan juga terdapat lukisan wajah yang digambarkan berupa garis-garis berwarna hitam, hijau, hitam dan biru. Matanya melotot berwarna hitam kehijauan, lubang hidungnya lebar, mulutnya terbuka lebar serta terdapat rambut-rambut gimbal yang melingkupi wajahnya. Selain itu di atasnya juga terdapat lukisan wajah lain yang digambarkan secara abstrak berwarna merah. Topeng-topeng itu sendiri cenderung bukan wajah asli dari diri manusia, dia adalah perwujudan dari bisikan-bisikan jahat yang menutupi hati dari kebenaran, sehingga membentuk karakter dalam tingkah laku dalam kehidupan nyata. Dan di tengah topeng-topeng tersebut terdapat seorang pria yang matanya terlihat memejam dengan kerutan-kerutan pada dahi dan wajahnya, ia bertelanjang dada dan memiliki ciri-ciri perawakan berambut gimbal, gondrong, berjanggut dan berkumis lebat yang dengan dramatisnya berdiri diantara sosok-sosok topeng yang seakan membisikinya agar tergoda dan menentukan pilihan yang salah dalam dirinya.
Dari lukisan tersebut dapat diambil kenyataan bahwa manusia merupakan makhluk yang gambang sekali terpengaruh oleh pikiran-pikiran buruk, kecuali mereka manusia-manusia yang kuat, sabar, tegar dan selalu mendapat petunjuk dari Tuhan, yang bisa mengendalikan nafsu dengan baik dan benar dari godaaan bisikan topeng-topeng kehidupan, sehingga nafsu tersebut menjadi kendaraanya menuju kesempurnaan.
Lukisan ini apabila dilihat ia menggunakan dominasi warna-warna komplementer atau warna-warna yang saling berlawanan seperti terdapat warna-warna merah dan hijau, dan beberapa kombinasi warna yang kompleks karena mencampurkan warna apa saja, Lukisan tersebut lebih di dominasi warna-warna gelap yang banyak digunakan pada warna rambut dan background. Selain warna yang mendominasi juga dalam lukisan tersebut mengandung unsur-unsur garis organis dan tidak beraturan yang membentuk objek secara nyata. Sentuhan warna dasar yang cenderung lebih terang memberikan kesan lukisan lebih hidup disertai garis-garis ekspresif yang menjadi penyeimbangnya, serta warna merah sebagai penguat objek lukis. Adapun lukisan ini merupakan lukisan dengan aliran ekspresionisme yaitu aliran seni lukis yang mengutamakan kebebasan dalam bentuk dan warna untuk mencurahkan emosi atau perasaan.
 Hasil karya Affandi ini memiliki manfaat dan energi yang cukup besar bagi setiap orang yang memahami maknanya, makna untuk berjuang menghadapi dan melawan hawa nafsu yang tertanam di dalam diri manusia. Hawa nafsu yang akan bertumbuh bila diikuti dan menjadi energi negatif bagi seseorang, yang dapat menghancurkan kehidupannya dan menjadi potret orang yang gagal. Sebaliknya, jika manusia dapat menlawan hawa nafsunya sendiri maka dapat dikategorikan sebagai manusia yang kuat, sabar, tegar, dan selalu mendapat petunjuk dari Tuhan. Para pecinta seni lukis, sering kali menjadikan lukisan “Potret Diri & Topeng-topeng Kehidupan" sebagai sarana untuk mengapresiasi seni lukis karena lukisan ini tergolong unik dan memiliki makna yang mendalam bagi kehidupan manusia. Pemilihan warnanya juga tidak biasa karena menggunakan dominasi warna-warna komplementer dan kombinasi warna yang kompleks sehingga menarik untuk dilihat dan diapresiasi. Namun, bagi sebagian orang yang tidak memahami makna tersirat dari lukisan ini akan menganggapnya biasa saja karena aliran yang digunakan hampir mengarah ke abstrakisme sehingga sulit bagi sebagian orang untuk memahaminya.

NOVEL SEJARAH PRIBADI




Tidak pernah terlintas di pikiranku, bagaimana Tuhan mengijinkanku hidup dan melihat dunia untuk pertama kalinya, ya.. 17 tahun yang lalu. Waktu begitu cepat berlalu, menyisakan bayangan-bayangan remang yang takku ingat detail kejadiannya. Pengalaman demi pengalaman datang satu-satu persatu menyambut setiap langkah dalam kehidupanku. Tidak semuanya baik, namun selalu ada cara untuk memperbaikinya. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa remaja adalah masa yang paling membingungkan dalam sejarah hidupku, selama ini dan sepanjang aku menginjakkan kaki di bumi. Banyak sekali fase dan hal-hal yang aku rasakan termasuk berabagai hal buruk terngiang dengan sangat cepat dan berulang-ulang setiap aku merasakan kebahagian dalam realita kehidupanku.
Aku sangat paham dengan keadaan ini, keadaan dimana orang-orang tak akan mempercayai ketakutanku tentang masa depan, menganggapku aneh dalam artian konyol. Bukankah kalian juga berpikir hal yang sama dengan kebanyakan orang tentang diriku? Tenang saja, aku tak akan pernah marah, aku lebih memilih untuk mengabaikannya. Karena aku menganggap semua itu normal.
Aku akan menceritakan sedikit tentang ke-dua kakak kandungku, walau mungkin tak ada diksi yang lebih baik dari cerita orang lain. Kakak sulungku adalah seorang yang cantik dan populer dimasanya, dia sangatlah disukai dan disayangi oleh mereka yang menganggapnya pandai bersosialisasi. Kakak tengahku adalah orang yang memiliki tingkat kepedulian tertinggi se-antah berantah utamanya kepadaku dan ibuku. Dia adalah seorang jenius yang rendah hati, sangat patuh, dan tak banyak bicara dengan orang baru, yang paling penting, entah darimana banyak orang bilang jika dia punya kharisma. Namun sekali ia merasa begitu terluka, tak ada lagi yang berani menghentikannya. Jika dia marah, maka dia akan lupa kalau kami ini kebetulan bertalian darah, pernah suatu hari, tanpa ragu-ragu melayanglah kaki kanannya dan mendarat di ubun-ubun tak berdosa ini. Persis seperti yang kalian pikir, dia kokot bisu dan sangat tertutup namun emosinya yang dalam selalu mampu meluluhkan hati siapapun.
Kepribadianku yang ambivert sangatlah jauh dibandingkan kepribadian mereka, aku selalu capai. Lelah sekali mengikuti jalan pikir mereka berdua yang selalu menuntutku untuk menyamai mereka, entah aku-pun tak mau paham dengan naluri mereka sebagai kakak yang kadang malah membuatku terbebani. Sekali dua kali mereka bilang kalau aku tak punya karakter, dan omongan-omongan ngawur tentangku yang lain. Namun kata-kata itu membuatku sedikit kepikiran dan aku mulai mencari jati diriku. Jati diri yang masih lemah ini, dimana lagi letak parsial kekuatannya.
Potensi? Aku selalu bertanya-tanya apa aku punya potensi yang nantinya akan aku kembangkan menjadi sebuah unsur bernama bakat?. Sementara, sampai aku menemukan jawaban nantinya aku akan mencoba melakukan banyak hal. Dan beruntungnya, 80% dari teman-temanku selalu mendukung setiap hal yang terbaik untukku. Aku merasa bahwa semua yang aku coba lakukan selalu berhasil walau tak sebanyak harapan. Disinilah perjuangan pencarian yang sebenarnya dimulai. Semakin banyak yang aku coba,maka semakin banyak yang aku sukai maka bukankah semakin sulit untuk melihat bakatku?. Begitu pula dalam hal memutuskan dan konsisten terhadap cita-citaku dengan nama lainnya profesi di masa mendatang. Aku beropini sederhana bahwa, bekerja tidak melulu untuk mencari uang tapi bekerja adalah sarana untuk ekspresi diri dan aku sangat egois dalam hal ini.
Hal dasar yang aku coba saat menginjak remaja adalah olahraga. Bapakku dulunya seorang guru olahraga sebelum purna dan beralih profesi menjadi wirausahawan. Bapak menekuni olahraga tenis lapangan, bukan untuk berlomba namun untuk menjaga kesehatannya karena sibuk bekerja. Aku sering diajak untuk sekedar melihat atau menemaninya bertenis setiap akhir minggu dan akhirnya aku tertarik setelah dikenalkan dengan teman bapak yang juga pelatihnya bertenis. Pada hari pertama latihan, aku dapat memahami setiap teknik yang Pak Dipong ajarkan walaupun tidak secepat kakakku dulu. Aku juga mengajak salah satu temanku untuk berlatih bersamaku Rifda namanya karena dia kuanggap kompeten dalam berolahraga dan itu bisa menjadi motivasi tersendiri bagiku, juga karena alasan canggung kalau harus latihan sendiri. Aku sedikit menyukai olahraga ini karena aku bisa sedikit demi sedikit mengamati dan belajar bersosialisasi dengan banyak teman bapak. Bahkan pernah suatu saat aku merasa sangat berterimakasih dengan kepedulian mereka, waktu itu hari Sabtu ketika aku pertama kali dalam hidup mengalami kecelakaan walau ringan dan itu jelas atas kesalahan bus besar berpintu dua yang mengambil jalan dengan arah yang berlawanan sehigga aku jatuh tersenggol mata lampunya. Bukan karena sakit atau luka darahnya aku terkejut namun karena banyaknya orang yang berkerumun dan harga diriku yang dijatuhkan oleh si kondektur tanpa sopan santun itu yang melempariku uang Rp.50.000,00 lalu meninggalkanku dengan kerumunan warga tanpa kata apapun. Tak terasa emosiku keluar dan meluap begitu dalam sehingga aku menangis dimuka umum tanpa malu. Yang terpikirkan dikepala hanya ‘Bapak.. bapak.. dan bapak..’  hingga seorang warga mendekatiku membawa obat merah, air mineral, dan handphone seraya menenangkanku dia berkata lembut “Dek, ini saya pinjamkan handphone, telepon bapakmu suruh jemput disini.” ‘Subhanalloh kau kabulkan doaku secepat itu ya Alloh.’ Gumamku dalam hati tanpa sedetikpun berhenti menangis. Tak lama setelah ku telepon bapak datang dengan kakak tengahku, sudah pasti kakakku banyak menanyaiku sungguh hal yang paling merepotkan. “Sudah jangan ditanya terus sekarang gantian bapak yang tanya, mau sekolah atau pulang?” bapak memang paling tahu deh. Entah kenapa spontan saat itu aku bilang “Sekolah.” “Mikirin apa sih, masih kaya gini mau sekolah.” Kakakku bersuara seperti cicak, tidak aku hiraukan, akhirnya aku tetap sekolah diantar kakak dan bapak bawa sepedaku. Dalam perjalanan kesekolah aku bercerita secara rinci dan kakakku mengomel tidak berguna tentang akan mencabut sim supirnya dll. Mungkin sampai rumah dia bercerita dan hari sabtu adalah hari jadwal tenis bapak, bapak cerita ke om” temennya dan tak kuduga, mereka semua marah sampai rela ke terminal menunggu bus itu datang lagi. Dan kesimpulan dari cerita olahraga adalah “Solidaritas itu bukan tidak bermakna.”
Yang kedua adalah organisasi. Sepertinya menarik juga ikut organisasi. Aku mengikuti Saka Kalpataru yaitu organisasi yang bergerak di bidang lingkungan. Ternyata organisasi itu rasanya sempit dan luas sekaligus. Sempitnya yaitu kita dituntut berfikir kritis dan luasnya itu tentang kebebasan berargumen. Aku benar-benar takjub dengan setiap titik didalamnya sampai aku merasa jenuh di setiap ruang didalamnya. Disini aku merasa kalah dengan kakak sulungku, ibuk dan bapak yang selalu aktif berorganiasi. Di bidang ini aku lebih cenderung tertutup jadi aku mengalami keberhasilan yang tidak maksimal namun banyak nilai hidup berharga yang tidak bisa aku ambil di tempat lain, terutama “Jangan egois, kita semua satu bukan satu-satu.” Di organisasi ini aku pernah jatuh dari jembatan benar-benar dari atas sampai bawah dan pingsan 3 detik. Di sini juga awal terbentuknya rasa peduli dan temanku menjadi lebih banyak, di sini juga aku menjadi tambah berani karena gemblengan mental dan karakter yang organisasi ini ajarkan kepadaku.
Selain kedua hal itu, banyak sekali yang aku coba seperti, komunitas, musik, sastra dan hal-hal menarik lainnya. Semua hal tersebut 70% berhasil, namun tak sebanyak yang aku harapkan. Namun aku tidak pernah kecewa atau menyesal karena telah melakukannya. Semua ada hikmahnya dan pelajaran hidup tersendiri. Aku yakin semua hal yang aku coba adalah bentuk pewujudan pembentukan mental dan karakterku.

uny.ac.id
http://library.uny.ac.id
http://journal.uny.ac.id