Sabtu, 21 September 2019

NOVEL SEJARAH PRIBADI




Tidak pernah terlintas di pikiranku, bagaimana Tuhan mengijinkanku hidup dan melihat dunia untuk pertama kalinya, ya.. 17 tahun yang lalu. Waktu begitu cepat berlalu, menyisakan bayangan-bayangan remang yang takku ingat detail kejadiannya. Pengalaman demi pengalaman datang satu-satu persatu menyambut setiap langkah dalam kehidupanku. Tidak semuanya baik, namun selalu ada cara untuk memperbaikinya. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa remaja adalah masa yang paling membingungkan dalam sejarah hidupku, selama ini dan sepanjang aku menginjakkan kaki di bumi. Banyak sekali fase dan hal-hal yang aku rasakan termasuk berabagai hal buruk terngiang dengan sangat cepat dan berulang-ulang setiap aku merasakan kebahagian dalam realita kehidupanku.
Aku sangat paham dengan keadaan ini, keadaan dimana orang-orang tak akan mempercayai ketakutanku tentang masa depan, menganggapku aneh dalam artian konyol. Bukankah kalian juga berpikir hal yang sama dengan kebanyakan orang tentang diriku? Tenang saja, aku tak akan pernah marah, aku lebih memilih untuk mengabaikannya. Karena aku menganggap semua itu normal.
Aku akan menceritakan sedikit tentang ke-dua kakak kandungku, walau mungkin tak ada diksi yang lebih baik dari cerita orang lain. Kakak sulungku adalah seorang yang cantik dan populer dimasanya, dia sangatlah disukai dan disayangi oleh mereka yang menganggapnya pandai bersosialisasi. Kakak tengahku adalah orang yang memiliki tingkat kepedulian tertinggi se-antah berantah utamanya kepadaku dan ibuku. Dia adalah seorang jenius yang rendah hati, sangat patuh, dan tak banyak bicara dengan orang baru, yang paling penting, entah darimana banyak orang bilang jika dia punya kharisma. Namun sekali ia merasa begitu terluka, tak ada lagi yang berani menghentikannya. Jika dia marah, maka dia akan lupa kalau kami ini kebetulan bertalian darah, pernah suatu hari, tanpa ragu-ragu melayanglah kaki kanannya dan mendarat di ubun-ubun tak berdosa ini. Persis seperti yang kalian pikir, dia kokot bisu dan sangat tertutup namun emosinya yang dalam selalu mampu meluluhkan hati siapapun.
Kepribadianku yang ambivert sangatlah jauh dibandingkan kepribadian mereka, aku selalu capai. Lelah sekali mengikuti jalan pikir mereka berdua yang selalu menuntutku untuk menyamai mereka, entah aku-pun tak mau paham dengan naluri mereka sebagai kakak yang kadang malah membuatku terbebani. Sekali dua kali mereka bilang kalau aku tak punya karakter, dan omongan-omongan ngawur tentangku yang lain. Namun kata-kata itu membuatku sedikit kepikiran dan aku mulai mencari jati diriku. Jati diri yang masih lemah ini, dimana lagi letak parsial kekuatannya.
Potensi? Aku selalu bertanya-tanya apa aku punya potensi yang nantinya akan aku kembangkan menjadi sebuah unsur bernama bakat?. Sementara, sampai aku menemukan jawaban nantinya aku akan mencoba melakukan banyak hal. Dan beruntungnya, 80% dari teman-temanku selalu mendukung setiap hal yang terbaik untukku. Aku merasa bahwa semua yang aku coba lakukan selalu berhasil walau tak sebanyak harapan. Disinilah perjuangan pencarian yang sebenarnya dimulai. Semakin banyak yang aku coba,maka semakin banyak yang aku sukai maka bukankah semakin sulit untuk melihat bakatku?. Begitu pula dalam hal memutuskan dan konsisten terhadap cita-citaku dengan nama lainnya profesi di masa mendatang. Aku beropini sederhana bahwa, bekerja tidak melulu untuk mencari uang tapi bekerja adalah sarana untuk ekspresi diri dan aku sangat egois dalam hal ini.
Hal dasar yang aku coba saat menginjak remaja adalah olahraga. Bapakku dulunya seorang guru olahraga sebelum purna dan beralih profesi menjadi wirausahawan. Bapak menekuni olahraga tenis lapangan, bukan untuk berlomba namun untuk menjaga kesehatannya karena sibuk bekerja. Aku sering diajak untuk sekedar melihat atau menemaninya bertenis setiap akhir minggu dan akhirnya aku tertarik setelah dikenalkan dengan teman bapak yang juga pelatihnya bertenis. Pada hari pertama latihan, aku dapat memahami setiap teknik yang Pak Dipong ajarkan walaupun tidak secepat kakakku dulu. Aku juga mengajak salah satu temanku untuk berlatih bersamaku Rifda namanya karena dia kuanggap kompeten dalam berolahraga dan itu bisa menjadi motivasi tersendiri bagiku, juga karena alasan canggung kalau harus latihan sendiri. Aku sedikit menyukai olahraga ini karena aku bisa sedikit demi sedikit mengamati dan belajar bersosialisasi dengan banyak teman bapak. Bahkan pernah suatu saat aku merasa sangat berterimakasih dengan kepedulian mereka, waktu itu hari Sabtu ketika aku pertama kali dalam hidup mengalami kecelakaan walau ringan dan itu jelas atas kesalahan bus besar berpintu dua yang mengambil jalan dengan arah yang berlawanan sehigga aku jatuh tersenggol mata lampunya. Bukan karena sakit atau luka darahnya aku terkejut namun karena banyaknya orang yang berkerumun dan harga diriku yang dijatuhkan oleh si kondektur tanpa sopan santun itu yang melempariku uang Rp.50.000,00 lalu meninggalkanku dengan kerumunan warga tanpa kata apapun. Tak terasa emosiku keluar dan meluap begitu dalam sehingga aku menangis dimuka umum tanpa malu. Yang terpikirkan dikepala hanya ‘Bapak.. bapak.. dan bapak..’  hingga seorang warga mendekatiku membawa obat merah, air mineral, dan handphone seraya menenangkanku dia berkata lembut “Dek, ini saya pinjamkan handphone, telepon bapakmu suruh jemput disini.” ‘Subhanalloh kau kabulkan doaku secepat itu ya Alloh.’ Gumamku dalam hati tanpa sedetikpun berhenti menangis. Tak lama setelah ku telepon bapak datang dengan kakak tengahku, sudah pasti kakakku banyak menanyaiku sungguh hal yang paling merepotkan. “Sudah jangan ditanya terus sekarang gantian bapak yang tanya, mau sekolah atau pulang?” bapak memang paling tahu deh. Entah kenapa spontan saat itu aku bilang “Sekolah.” “Mikirin apa sih, masih kaya gini mau sekolah.” Kakakku bersuara seperti cicak, tidak aku hiraukan, akhirnya aku tetap sekolah diantar kakak dan bapak bawa sepedaku. Dalam perjalanan kesekolah aku bercerita secara rinci dan kakakku mengomel tidak berguna tentang akan mencabut sim supirnya dll. Mungkin sampai rumah dia bercerita dan hari sabtu adalah hari jadwal tenis bapak, bapak cerita ke om” temennya dan tak kuduga, mereka semua marah sampai rela ke terminal menunggu bus itu datang lagi. Dan kesimpulan dari cerita olahraga adalah “Solidaritas itu bukan tidak bermakna.”
Yang kedua adalah organisasi. Sepertinya menarik juga ikut organisasi. Aku mengikuti Saka Kalpataru yaitu organisasi yang bergerak di bidang lingkungan. Ternyata organisasi itu rasanya sempit dan luas sekaligus. Sempitnya yaitu kita dituntut berfikir kritis dan luasnya itu tentang kebebasan berargumen. Aku benar-benar takjub dengan setiap titik didalamnya sampai aku merasa jenuh di setiap ruang didalamnya. Disini aku merasa kalah dengan kakak sulungku, ibuk dan bapak yang selalu aktif berorganiasi. Di bidang ini aku lebih cenderung tertutup jadi aku mengalami keberhasilan yang tidak maksimal namun banyak nilai hidup berharga yang tidak bisa aku ambil di tempat lain, terutama “Jangan egois, kita semua satu bukan satu-satu.” Di organisasi ini aku pernah jatuh dari jembatan benar-benar dari atas sampai bawah dan pingsan 3 detik. Di sini juga awal terbentuknya rasa peduli dan temanku menjadi lebih banyak, di sini juga aku menjadi tambah berani karena gemblengan mental dan karakter yang organisasi ini ajarkan kepadaku.
Selain kedua hal itu, banyak sekali yang aku coba seperti, komunitas, musik, sastra dan hal-hal menarik lainnya. Semua hal tersebut 70% berhasil, namun tak sebanyak yang aku harapkan. Namun aku tidak pernah kecewa atau menyesal karena telah melakukannya. Semua ada hikmahnya dan pelajaran hidup tersendiri. Aku yakin semua hal yang aku coba adalah bentuk pewujudan pembentukan mental dan karakterku.

uny.ac.id
http://library.uny.ac.id
http://journal.uny.ac.id

Tidak ada komentar:

Posting Komentar