Tidak pernah terlintas di pikiranku, bagaimana Tuhan
mengijinkanku hidup dan melihat dunia untuk pertama kalinya, ya.. 17 tahun yang
lalu. Waktu begitu cepat berlalu, menyisakan bayangan-bayangan remang yang takku
ingat detail kejadiannya. Pengalaman demi pengalaman datang satu-satu persatu
menyambut setiap langkah dalam kehidupanku. Tidak semuanya baik, namun selalu
ada cara untuk memperbaikinya. Berbeda dengan masa-masa sebelumnya. Masa remaja
adalah masa yang paling membingungkan dalam sejarah hidupku, selama ini dan
sepanjang aku menginjakkan kaki di bumi. Banyak sekali fase dan hal-hal yang
aku rasakan termasuk berabagai hal buruk terngiang dengan sangat cepat dan
berulang-ulang setiap aku merasakan kebahagian dalam realita kehidupanku.
Aku sangat paham dengan keadaan ini, keadaan dimana
orang-orang tak akan mempercayai ketakutanku tentang masa depan, menganggapku
aneh dalam artian konyol. Bukankah kalian juga berpikir hal yang sama dengan
kebanyakan orang tentang diriku? Tenang saja, aku tak akan pernah marah, aku
lebih memilih untuk mengabaikannya. Karena aku menganggap semua itu normal.
Aku akan menceritakan sedikit tentang ke-dua kakak
kandungku, walau mungkin tak ada diksi yang lebih baik dari cerita orang lain.
Kakak sulungku adalah seorang yang cantik dan populer dimasanya, dia sangatlah
disukai dan disayangi oleh mereka yang menganggapnya pandai bersosialisasi. Kakak
tengahku adalah orang yang memiliki tingkat kepedulian tertinggi se-antah
berantah utamanya kepadaku dan ibuku. Dia adalah seorang jenius yang rendah
hati, sangat patuh, dan tak banyak bicara dengan orang baru, yang paling
penting, entah darimana banyak orang bilang jika dia punya kharisma. Namun
sekali ia merasa begitu terluka, tak ada lagi yang berani menghentikannya. Jika
dia marah, maka dia akan lupa kalau kami ini kebetulan bertalian darah, pernah
suatu hari, tanpa ragu-ragu melayanglah kaki kanannya dan mendarat di ubun-ubun
tak berdosa ini. Persis seperti yang kalian pikir, dia kokot bisu dan sangat
tertutup namun emosinya yang dalam selalu mampu meluluhkan hati siapapun.
Kepribadianku yang ambivert sangatlah jauh dibandingkan
kepribadian mereka, aku selalu capai. Lelah sekali mengikuti jalan pikir mereka
berdua yang selalu menuntutku untuk menyamai mereka, entah aku-pun tak mau
paham dengan naluri mereka sebagai kakak yang kadang malah membuatku terbebani.
Sekali dua kali mereka bilang kalau aku tak punya karakter, dan omongan-omongan
ngawur tentangku yang lain. Namun kata-kata itu membuatku sedikit kepikiran dan
aku mulai mencari jati diriku. Jati diri yang masih lemah ini, dimana lagi
letak parsial kekuatannya.
Potensi? Aku selalu bertanya-tanya apa aku punya potensi
yang nantinya akan aku kembangkan menjadi sebuah unsur bernama bakat?.
Sementara, sampai aku menemukan jawaban nantinya aku akan mencoba melakukan
banyak hal. Dan beruntungnya, 80% dari teman-temanku selalu mendukung setiap
hal yang terbaik untukku. Aku merasa bahwa semua yang aku coba lakukan selalu
berhasil walau tak sebanyak harapan. Disinilah perjuangan pencarian yang sebenarnya
dimulai. Semakin banyak yang aku coba,maka semakin banyak yang aku sukai maka
bukankah semakin sulit untuk melihat bakatku?. Begitu pula dalam hal memutuskan
dan konsisten terhadap cita-citaku dengan nama lainnya profesi di masa mendatang.
Aku beropini sederhana bahwa, bekerja tidak melulu untuk mencari uang tapi
bekerja adalah sarana untuk ekspresi diri dan aku sangat egois dalam hal ini.
Hal dasar yang aku coba saat menginjak remaja adalah
olahraga. Bapakku dulunya seorang guru olahraga sebelum purna dan beralih
profesi menjadi wirausahawan. Bapak menekuni olahraga tenis lapangan, bukan
untuk berlomba namun untuk menjaga kesehatannya karena sibuk bekerja. Aku
sering diajak untuk sekedar melihat atau menemaninya bertenis setiap akhir minggu
dan akhirnya aku tertarik setelah dikenalkan dengan teman bapak yang juga
pelatihnya bertenis. Pada hari pertama latihan, aku dapat memahami setiap
teknik yang Pak Dipong ajarkan walaupun tidak secepat kakakku dulu. Aku juga
mengajak salah satu temanku untuk berlatih bersamaku Rifda namanya karena dia
kuanggap kompeten dalam berolahraga dan itu bisa menjadi motivasi tersendiri
bagiku, juga karena alasan canggung kalau harus latihan sendiri. Aku sedikit
menyukai olahraga ini karena aku bisa sedikit demi sedikit mengamati dan
belajar bersosialisasi dengan banyak teman bapak. Bahkan pernah suatu saat aku
merasa sangat berterimakasih dengan kepedulian mereka, waktu itu hari Sabtu
ketika aku pertama kali dalam hidup mengalami kecelakaan walau ringan dan itu jelas
atas kesalahan bus besar berpintu dua yang mengambil jalan dengan arah yang
berlawanan sehigga aku jatuh tersenggol mata lampunya. Bukan karena sakit atau
luka darahnya aku terkejut namun karena banyaknya orang yang berkerumun dan
harga diriku yang dijatuhkan oleh si kondektur tanpa sopan santun itu yang
melempariku uang Rp.50.000,00 lalu meninggalkanku dengan kerumunan warga tanpa
kata apapun. Tak terasa emosiku keluar dan meluap begitu dalam sehingga aku
menangis dimuka umum tanpa malu. Yang terpikirkan dikepala hanya ‘Bapak.. bapak.. dan bapak..’ hingga seorang warga mendekatiku membawa obat
merah, air mineral, dan handphone seraya menenangkanku dia berkata lembut “Dek,
ini saya pinjamkan handphone, telepon bapakmu suruh jemput disini.” ‘Subhanalloh kau kabulkan doaku secepat itu
ya Alloh.’ Gumamku dalam hati tanpa sedetikpun berhenti menangis. Tak lama
setelah ku telepon bapak datang dengan kakak tengahku, sudah pasti kakakku
banyak menanyaiku sungguh hal yang paling merepotkan. “Sudah jangan ditanya
terus sekarang gantian bapak yang tanya, mau sekolah atau pulang?” bapak memang
paling tahu deh. Entah kenapa spontan saat itu aku bilang “Sekolah.” “Mikirin
apa sih, masih kaya gini mau sekolah.” Kakakku bersuara seperti cicak, tidak
aku hiraukan, akhirnya aku tetap sekolah diantar kakak dan bapak bawa sepedaku.
Dalam perjalanan kesekolah aku bercerita secara rinci dan kakakku mengomel
tidak berguna tentang akan mencabut sim supirnya dll. Mungkin sampai rumah dia bercerita
dan hari sabtu adalah hari jadwal tenis bapak, bapak cerita ke om” temennya dan
tak kuduga, mereka semua marah sampai rela ke terminal menunggu bus itu datang
lagi. Dan kesimpulan dari cerita olahraga adalah “Solidaritas itu bukan tidak
bermakna.”
Yang kedua adalah organisasi. Sepertinya menarik juga ikut
organisasi. Aku mengikuti Saka Kalpataru yaitu organisasi yang bergerak di
bidang lingkungan. Ternyata organisasi itu rasanya sempit dan luas sekaligus.
Sempitnya yaitu kita dituntut berfikir kritis dan luasnya itu tentang kebebasan
berargumen. Aku benar-benar takjub dengan setiap titik didalamnya sampai aku
merasa jenuh di setiap ruang didalamnya. Disini aku merasa kalah dengan kakak
sulungku, ibuk dan bapak yang selalu aktif berorganiasi. Di bidang ini aku
lebih cenderung tertutup jadi aku mengalami keberhasilan yang tidak maksimal
namun banyak nilai hidup berharga yang tidak bisa aku ambil di tempat lain,
terutama “Jangan egois, kita semua satu bukan satu-satu.” Di organisasi ini aku
pernah jatuh dari jembatan benar-benar dari atas sampai bawah dan pingsan 3
detik. Di sini juga awal terbentuknya rasa peduli dan temanku menjadi lebih
banyak, di sini juga aku menjadi tambah berani karena gemblengan mental dan
karakter yang organisasi ini ajarkan kepadaku.
Selain kedua hal itu, banyak sekali yang aku coba seperti,
komunitas, musik, sastra dan hal-hal menarik lainnya. Semua hal tersebut 70%
berhasil, namun tak sebanyak yang aku harapkan. Namun aku tidak pernah kecewa
atau menyesal karena telah melakukannya. Semua ada hikmahnya dan pelajaran
hidup tersendiri. Aku yakin semua hal yang aku coba adalah bentuk pewujudan
pembentukan mental dan karakterku.
uny.ac.id
http://library.uny.ac.id
http://journal.uny.ac.id
uny.ac.id
http://library.uny.ac.id
http://journal.uny.ac.id
Tidak ada komentar:
Posting Komentar